Asal Usul Gelar Haji dan Hajah di Indonesia
Haji dan umrah merupakan bagian dari ibadah di mana seseorang melakukan perjalanan ke Baitullah. Ibadah haji dan umrah sudah ada sejak masa Nabi Ibrahim AS, lalu berlanjut masa Nabi Muhammad SAW hingga sekarang. Ibadah satu ini punya makna tersendiri bagi umat Islam di seluruh dunia.
Setelah menyelesaikan haji, seorang akan kembali ke tempat asalnya. Di Indonesia sendiri, orang yang telah menyelesaikan ibadah haji akan menyandang gelar haji atau hajah. Hajah merupakan gelar haji untuk perempuan.
Gelar yang diberikan merupakan bentuk penghargaan karena seorang telah berhasil menyempurnakan rukun Islam. Tapi tahukah truFriends ternyata gelar haji dan hajah ini punya asal usul tersendiri? Untuk mengetahui asal usul gelar haji, simak ulasan berikut ini.
Baca Juga: Mengenal Tasreh, Izin Untuk Bisa Masuk ke Raudhah
Arti Gelar Haji dan Hajah
Haji adalah gelar yang memiliki dua makna. Dalam budaya Islam Nusantara di Asia Tenggara, gelar haji diberikan kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Sementara makna Haji atau Aji lainnya adalah raja, di mana gelar ini berasal dari kebudayaan Nusantara sebelum Islam yakni masa Hindu Budha.
Di Indonesia sendiri gelar haji atau hajah diletakkan di depan nama seorang pasca melaksanakan ibadah haji. Biasanya gelar ini disingkat dengan singkatan “H atau Hj”. Gelar ini dibubuhkan pada seseorang sebagai bentuk teladan di masyarakat.
Gelar haji dan hajah juga menunjukkan bahwa seseorang menjadi panutan secara lahir maupun batin dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dari pandangan Islam. Seorang yang telah melaksanakan ibadah haji dianggap mampu memberi teladan bagi masyarakat. Mereka dianggap berpengaruh karena terpilih sebagai salah satu tamu Allah.
Asal Usul Gelar Haji dan Hajah
Di beberapa negara, gelar haji memiliki versi sesuai bahasa lokal masing-masing. Bahkan di negara tertentu gelar seperti ini dapat diwariskan menjadi nama keluarga. Sementara di negara-negara Arab, gelar haji biasa digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua baik sudah maupun belum haji.
Sementara, gelar ini juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang pernah dijajah Imperium Usmani (meliputi Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia, dan Romania). Gelar ini diberikan kepada orang kristen yang pernah berziarah ke Yerusalem dan Tanah Suci.
Di Indonesia pemberian gelar haji dan hajah sudah ada sejak zaman dahulu. Dahulu seorang yang melakukan perjalanan ke Tanah Suci penuh dengan perjuangan. Mereka harus mengarungi lautan selama berbulan-bulan, melewati badai, menghindari perampokan, hingga menerjang gurun pasir.
Seorang yang berhasil melewati berbagai ujian tersebut dan akhirnya selamat sampai Tanah Air dianggap berhasil. Maka mereka akan mendapat anugrah dan kehormatan dengan gelar haji atau hajah. Terlebih lagi Mekah merupakan tempat suci bagi umat Islam.
Gelar Haji dan Hajah dari Pemerintah Kolonial
Ada juga yang mengatakan bahwa gelar haji dan hajah merupakan peninggalan Kolonial Belanda. Hal ini karena pada masa penjajahan Belanda sangat membatasi pergerakan umat Islam yang sedang berdakwah. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan harus mendapat izin dari pemerintahan Belanda.
Belanda sangat khawatir jika nantinya memunculkan rasa persaudaraan di kalangan rakyat pribumi. Hal ini dapat memunculkan pemberontakan sehingga segala jenis kegiatan keislaman cukup dibatasi. Salah satunya adalah pembatasan terhadap ibadah haji.
Seorang yang menunaikan ibadah haji akan kembali ke Tanah Air membawa perubahan. Hal ini menimbulkan kehati-hatian di kalangan Belanda. Terlihat dari banyaknya Pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji.
Misalnya saja Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi. Kepulangan Pahlawan Indonesia ini membawa perubahan negeri menjadi lebih baik. Inilah yang membuat Belanda terus merasa waspada. Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda setelah pulang dari ibadah haji.
Berbagai perubahan yang dibawa Pahlawan Nasional ini sangat merisaukan pihak Belanda. Maka dari itu, untuk mengawasi setiap aktivitas keagamaan, Belanda mengharuskan gelar haji disematkan kepada orang yang sudah berhaji dan kembali ke Tanah Air.
Pemberian Gelar Haji dan Hajah Tercantum dalam Aturan Pemerintah Hindia Belanda
Peraturan ini tertulis dalam Peraturan Pemerintah Belanda Staatsblad tahun 1903. Bahkan pemerintah Belanda mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (sekarang Pulau Cipir) di Pulau Seribu untuk menjadi lalu lintas utama perjalanan haji di Indonesia.
Di kedua pulau tersebut, orang-orang yang pulang setelah menunaikan haji dikarantina terlebih dahulu. Tujuannya ada yang memang untuk diobati karena sakit akibat perjalanan jauh. Ada juga yang langsung disuntik mati karena dianggap mencurigakan oleh pihak Belanda.
Nama-nama orang yang pulang haji ini akan dicatat untuk selanjutnya dipulangkan ke kampung halaman. Dari sini terlihat bahwa gelar haji dimaksudkan untuk memudahkan Pemerintah Hindia Belanda mengawasi orang-orang yang dipulangkan ke kampung halaman. Apabila nantinya terjadi pemberontakan maka Belanda akan mudah mencari orang-orang tersebut.
Sampai saat ini gelar haji dan hajah masih dipertahankan dan menjadi budaya turun temurun. Berdasarkan ulasan sejarah di atas, terlihat bahwa gelar haji dan hajah bukan sebagai simbol keagamaan. Gelar ini justru bagian dari peninggalan kolonial Belanda yang masih ada sampai sekarang.
Hukum Panggilan Haji dan Hajah
Setelah mengetahui asal usul panggilan haji dan hajah, lantas apa hukum sebenarnya menggunakan gelar ini? Pada dasarnya menggunakan gelar haji dan hajah tidak ada larangan atau perintah di dalamnya. Namun, secara umum terdapat dua pendapat soal penggunaan gelar ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa panggilan atau penyematan gelar haji dan hajah hukumnya dilarang. Alasan di balik hukum ini adalah karena gelar tersebut bahkan tidak ada di zaman nabi, dan memungkinkan timbulnya riya.
Ada fatwa yang menyatakan bahwa panggilan atau penyematan gelar pasca berhaji sebaiknya ditinggalkan. Hal ini karena setelah melaksanakan syariat, gelar tidak diperlukan karena tujuannya untuk mendapat ridha Allah SWT.
Pendapat kedua mengatakan bahwa gelar haji dan hajah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan pendapat Imam An Nawawi yakni, “Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh.”
Baca Juga: Jabal Abu Qubais, Bukit Pertama yang Allah Ciptakan di Bumi
Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah dengan Nyaman
Itulah informasi lengkap mengenai asal usul gelar Haji dan Hajah di Indonesia. Ternyata penggunaan gelar tersebut berasal dari aturan pemerintah Belanda yang kini masih diimplementasikan di Indonesia.
Apabila truFriends berencana berangkat haji dan umrah, jangan lupa untuk menyiapkan beberapa perlengkapan penting. Salah satunya adalah pakaian haji dan umrah wanita lengkap satu set dengan bahan nyaman dan adem agar ibadah berjalan khusyuk.
truFriends dapat temukan selengkapnya pakaian haji dan umrah hanya di L.tru. Dalam satu set Bless Series terdiri dari dari gamis, tunik dengan celana, bergo hajj, inner hijab, manset shalat, serta kaus kaki dalam satu tas yang praktis. Tersedia dalam warna hitam dan putih.
Dapatkan Bless Series L.tru sekarang juga hanya di website L.tru!
Tuliskan Komentar