Pengertian, Keutamaan, dan Batasan Musafir
Musafir sering kali diartikan sebagai seseorang yang bepergian, dalam bahasa Arab disebut juga dengan Safar yaitu perjalanan jauh. Sehingga, musafir bisa didefinisikan seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh.
Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan tujuan yang baik, maka Allah SAW akan memberikan kemudahan bagi umat tersebut keringanan dalam beribadah, seperti tidak wajib puasa, bisa meng-qodho sholatnya, hingga bisa sholat di perjalanan.
Lalu apa pengertian hingga batasan muslim dikatakan sebagai musafir? Berikut uraiannya.
Baca Juga: Ketahui Hukum dan Tata Cara Sholat dalam Perjalanan
Pengertian dan Batasan Musafir
Safar yang dalam bahasa Arab berarti perjalanan jauh, dalam etimologi safar juga bermakna “membuka” maksudnya saat seorang mukmin sedang dalam perjalanan, maka akan muncul akhlak, perilaku, tabiat seseorang yang sebenarnya, karena safar akan mendatangkan ujian dalam berbagai bentuknya
Oleh karenanya, seorang muslim yang menjadi musafir akan diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadahnya. Tetapi sebenarnya, kapan seseorang dapat dikatakan sebagai musafir?
Tidak semua orang yang sedang berpergian bisa disebut dengan Musafir, kriteria dari musafir dari para ulama pun berbeda-beda. Namun, mayoritas menyepakati ulama Imam Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai musafir karena telah menempuh jarak kurang lebih sebanyak 16 farsakh sekitar 80 km, seperti jarak antara Mekkah dan ‘Usfan.
Baca Juga: Tata Cara Berwudhu yang Benar untuk Wanita Berhijab
Keutamaan dan Manfaat Menjadi Musafir
Islam tidak pernah membebani umatnya apalagi dalam urusan beribadah. Seperti keringanan dalam melaksanakan puasa maupun shalat saat sedang menjadi musafir atau disebut juga rukhshah.
Namun, perlu dipahami bahwa rukhshah atau keringanan ini tidak berlaku bagi kaum muslimin yang menjalankan safar untuk bermaksiat. Ada tiga jenis kemaksiatan musafir dirangkum dalam kitab Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib.
- Musafir yang al-‘ashi bis-safar seperti orang yang bepergian dengan tujuan merampas harta di jalan (begal).
- Musafir yang al-‘ashi fis-safar seperti orang yang berzina di perjalanan sedangkan dia bertujuan untuk haji.
- Musafir yang al-‘ashi bis-safar fis-safar seperti orang yang awalnya bertujuan untuk melaksanakan suatu ketaatan lalu ia ubah bertujuan menjadi maksiat.
Terdapat beberapa rukhsah atau keringanan yang bisa truFriends dapati saat menjadi musafir yaitu
1. Meringkas Shalat (Qashar)
Shalat yang boleh diringkas saat bagi seorang musafir adalah sholat ashar dan dzuhur, dimana sholat 4 rakaat tersebut diringkas menjadi 2 rakaat saja.
Dalam Al Qur’an Allah SWT telah berfirman:
وَاِذَاضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلَوٰةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا اِنَّ اْلكفِرِيْنَ كَانُوْالَكُمْ عَدُوًّامُّبِيْنًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101)
2. Menggabung Dua Sholat (Menjama’)
Seorang musafir juga diberi keringanan dapat menggabungkan dua sholat dalam satu waktu sekaligus.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَاْلعِشَاءِ
“Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari:1107 dan Muslim:704)
Untuk pelaksanaan shalat jama’, bisa dilakukan di awal waktu sholat dzuhur atau diakhir waktu sholat ashar atau pun boleh sebaliknya seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW.
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga Asar kemudian menjama’ keduanya. Apabila beliau berangkat setelah Zhuhur maka beliau shalat Zhuhur kemudian baru berangkat.” (HR. Al Bukhari:1111 dan Muslim:704)
3. Tidak Wajib Berpuasa Saat Ramadhan
Ketika Ramadhan tiba maka umat muslim diwajibkan untuk melaksanakan puasa. Namun, jika ada muslim yang sedang menjadi musafir seperti melaksanakan mudik maka muslim tersebut boleh tidak berpuasa dan bisa menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkan.
Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa sakit atau di dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (Al-Baqarah: 185)
Keringanan tidak wajib berpuasa saat Ramadhan ini dilandasi karena dikhawatirkan saat sedang dalam perjalanan tidak memiliki waktu untuk berbuka puasa.
Baca Juga: Pengertian Nadzar, Hukum dan Berbagai Macamnya Dalam Islam
Mukena Travel Nyaman dari L.tru
Demikian tadi penjelasan mengenai musafir, saat sedang melakukan mudik tentu ibadah sholat tidak boleh ditinggalkan. Oleh karenanya dibutuhkan mukena travel dari L.tru yang nyaman dan praktis untuk menunjang ibadah truFriends diperjalanan.
Temukan berbagai koleksi fashion nyaman lainnya seperti gamis, blouse, hingga jilbab untuk rekomendasi pakaian sehari-hari di website L.tru sekarang.
Tuliskan Komentar